Wasit
Wicaksono
Anak saya dua laki-laki, Ilham lima tahun, sekolah
di TK dan
Kurniawan, dua tahun imut-imut belum
banyak bicara. Ilham sering menemani saya mengerjakan apa saja, pekerjaan di
rumah. Bahkan sering menggangu,
atau terkesan mengganggu saat saya bekerja. Suatu ketia, saat saya terpaksa membawa pekerjaan sekolah ke rumah,
banyak yang tercoret atau sengaja dicoret oleh kedua anak manis itu. Sebenarnya itu semua
bisa teratasi jika saya sebelumnya
memberi kertas dan alat tulis kepada masing-masing, meskipun itu bukan jaminan tidak mengganggu saya. Namun beberapa kali kiat itu berhasil.
Tidak jarang, mereka akan bertanya tentang kesulitannya,
dan minta dinilai hasil kerjanya, berulang-ulang, tidak jarang, mereka berebut
alat tulis, “ha…ha..ha…….,” saya harus tetap tertawa, dengan maksud menghibur
diri dan merubah asumsi dan situasi anak itu berkelahi menjadi sebuah canda.
Kegiatan
saya, harus berhenti sejenak, dan melanjutkan lagi setelah benar-benar damai
antara keduanya. Kesabaran diuji tidak
untuk sekali dua kali. Saat pekerjaan mereka selesai, atau mungkin bosan,
sementara saya masih asyik menulis, mereka akan bertanya ? “Apasih yang
dikerjakan Bapak, kok tidak selesai-selesai?, Aku mau seperti Bapak.....”. Ini
bukan ungkapan cita-cita, tapi isyarat anak itu mau menulis di kertas kerja
saya.
Saya
ambil jurus, ya, jurus rayuan tidur dengan dibacakan dongeng sebelumnya. Tidak
berapa lama, si kecil langsung terlelap namun, Ilham nampak masih segar. Saat
cerita mulai asyik, Ilham penasaran dan ingin ikut membaca, meski belum lancar
benar membacanya kubiarkan sambil latihanmembaca. Akhirnya kami membaca cerita
bersama, dan anehnya anak itu tidak menandakan ngantuk juga.
Saya
mulai resah karena pekerjaan belum juga selesai. Maka saya katakan kepada ilham,
kalau belum mau tidur main sendiri, jangan ganggu bapak. Anak itupun
menyetujui, dan kami menuju ruang belajar lagi. Sedikit terpancar kecewa di
wajah anak itu. Buku cerita saya simpan, dan saya mulai menulis lagi.
“Tapi Ilham minta gunting dulu” kata Ilham saat saya akan
mulai menulis. Tanpa pikir saya turuti
saja daripada menganggu saya, nanti. Kini tenang, beberapa halaman telah penuh
saya tulis. Aman Anak itu main sendiri, tidak lagi mengganggu pikir saya sambil
lalu. Namun tiba-tiba Ilham muncul lagi dengan sebuah permintaan. “Pak mintak karet”,dengan
nada datar. “Mintak sama ibu saja” saya
menjawab tanpa melihat anak itu. “Kata Ibu tidak ada” Ilham memberi alasan.
Kalimat
yang belum selesai kutulis sampai titik
kubiarkan tergantung, “Katanya...... tidak ganggu bapak lagi, tadikan sudah
janji!”. Saya tatap anak itu sambil menahan dongkol. Berharap, dengan tatapan, anak
itu pengertian.
“Sekali
ini saja Pak”, anak itu meminta dengan takut dan memelas. Tanpa bersuara lagi saya mencari karet dan memberikan
kepadanya. Anak itu sedikit ketakutan menerimanya. Mungkin karena tekanan nada
suara saya.
Kini
hampir selesai pekerjaan itu, namun saya tak begitu gairah, rasanya karya
ilmiah yang saya buat kurang sempurna. Pikiran saya terpaku, lalu mencoba lagi
menuliskan uraian berikutnya sebagai penjelas kalimat-kalimat sebelumnya.
Lagi-lagi Ilham memanggilku. Berulang-ulang, saya masih saja menulis sambil
menyahut panggilannya, setelah kalimat yang saya tulis sampai pada tanda titik
barulah saya menyahut panggilan dan menatap anak itu.
“Ada apa Nak...........?”, kata-kata saya terkunci
sebatas itu. Saya seperti disihir oleh anak itu. Anak itu berdiri di
depan meja saya, merenggangkan kaki dan bertolak pinggang. Memakai kacamata
kertas yang menutupi sebelah matanya. Mata sebelah kanannya terbuka sambil
dimain-mainkannya. Kaca mata dengan tali karet sebagai pengikatnya ke belakang.
“Kaca
mata Bajak laut!”, ujar anak TK itu. Saya tak dapat menahan senyum dan tertawa,
dengan segala rasa penyesalan di dada. Saya baru ingat, dalam cerita yang kami baca bersama tadi terdapat tokoh Bajak
Laut dengan kaca mata sebelah.
“Jadi.....,
gunting dan karet tadi......”, kataku tak sadar. Kupeluk erat anak TK itu,
Ilham, buah hati saya. “Kau pintar nak......”. Dalam hatiku mengatakan saya
hampir saja mematikan kreatifitas anak. “Maafkan bapak Nak….”.
jangan lupa beri komentar ya...
BalasHapus